Serangan Udara Israel ke Rafah, Bencana Kemanusiaan Berlanjut

Seorang wanita berduka di samping jenazah anak-anak yang tewas dalam serangan penjajah Israel di Rafah. / Muhammad Salem (Reuters)

Seorang wanita berduka di samping jenazah anak-anak yang tewas dalam serangan penjajah Israel di Rafah. / Muhammad Salem (Reuters)

Setidaknya 74 warga Palestina syahid dalam rentetan serangan udara yang dilancarkan pesawat tempur Israel dari atas Rafah, Senin (12/2/2024), sebelum fajar. Sebagian besar warga yang syahid itu adalah mereka yang baru tiba di Rafah satu bulan lalu dari Gaza. Mereka menyewa rumah di Rafah karena mengungsi dari Gaza, sebagai salah satu upaya untuk menghindari konflik di Gaza utara.

Serangan pasukan pesawat tempur Israel itu juga menghancurkan sebagian besar bangunan di Rafah. Serta meratakan tenda yang menampung banyak keluarga. Di antara para korban tewas itu terdapat 27 anak-anak dan 22 wanita. Demikian menurut Kantor Hak Asasi Manusia Palestina seperti dikutip liputan6.com, Rabu (14/2/2024).

Serangan Israel ke Rafah ini menjadi babak baru dari rangkaian serangan pasukan zionis itu sejak 7 Oktober 2023 yang menimbulkan banyak korban jiwa berjatuhan. Terutama perempuan dan anak-anak. Hal itu membuat beberapa negara anggota PBB pada Rabu (14/2/2024) dilaporkan mendesak Dewan Keamanan PBB bertanggung jawab untuk menetapkan gencatan senjata di Jalur Gaza. Terutama dalam upaya menghentikan serangan Israel ke Rafah yang kini dihuni separuh penduduk Gaza. Di antara negara-negara tersebut termasuk Turki dan Kelompok Negara Arab.

Utusan Palestina untuk PBB, Riyad Mansour, seperti dikutip cnnindonesia.com, mengatakan, mereka percaya bahwa Dewan Keamanan PBB harus memikul tanggung jawab. Maka, Dewan Keamanan PBB harus segera bertindak dan menghentikan pertempuran serta menyelamatkan Rafah dari bencana yang mengancam.

“Kami ingin melihat Dewan Keamanan PBB bertindak secepat mungkin sesuai mandat dan kekuasaannya,” kata Riyad Mansour di New York.

Sebagaimana diberitakan banyak media massa, pada Jumat (9/2/2024) lalu, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, mengungkapkan niat menyerang Rafah dan menciptakan kondisi “yang mungkin mendorong” jutaan warga Palestina mengungsi ke Sinai di Mesir. Melanjutkan ucapan Netanyahu itu, tentara Israel lantas melancarkan serangan udara dan berencana melancarkan serangan darat ke Rafah. Serangan-serangan itu, menurut mereka, dilancarkan untuk mengalahkan apa yang mereka sebut sebagai “batalion Hamas” yang tersisa. Sejak diungkapkan, rencana itu menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya bencana kemanusiaan yang lebih lanjut di Palestina.

Bencana kemanusiaan itu sudah terlihat pada Senin (12/2/2024), ketika serangan perdana Israel terjadi dengan bom yang dijatuhkan dari udara ke Rafah yang menewaskan 67 warga Palestina hanya dalam 30 menit. Sebagian besar korban tewas adalah perempuan dan anak-anak. Sejak 7 Oktober 2023, pasukan Israel telah menggempur Jalur Gaza, menewaskan sedikitnya 28.567 orang, dan melukai 68.291 orang.

PBB sendiri telah mengeluarkan pernyataan bahwa perang di Gaza telah menyebabkan 85% penduduk mengungsi di tengah kekurangan makanan, air bersih, dan obat-obatan. Selain itu, 60% infrastruktur di Gaza telah rusak atau hancur.

“Kami berupaya melakukan segala yang mungkin untuk menghentikan Israel melakukan kejahatan berupa pengurangan populasi di Jalur Gaza dan segera menghentikan perang,” kata Riyad Mansour. “Jaminan untuk melakukan hal tersebut adalah dengan adanya resolusi yang menyerukan gencatan senjata. Kami berharap Dewan Keamanan PBB akan mengambil tanggung jawab tersebut,” tambahnya.

Israel pun telah diajukan ke hadapan Mahkamah Internasional (ICJ) atas tuduhan melakukan genosida di Gaza. Keputusan sementara ICJ pada 26 Januari 2024 memerintahkan Tel Aviv untuk menghentikan genosida dan mengambil tindakan untuk menjamin bahwa bantuan kemanusiaan diberikan kepada warga sipil di Gaza.

Namun, Benjamin Netanyahu tak mengindahkan keputusan ICJ itu. Ia bahkan mengambil langkah untuk menyerang Rafah. Menurut Netanyahu, serangan mereka terhadap Kota Rafah menjadi kunci untuk menghancurkan pasukan Hamas. Ia meyakini ada empat brigade utama Hamas yang berada di Rafah. Namun, banyak pihak pun meyakini hal itu hanya dalih Israel agar dapat menyerbu Rafah dan akhirnya mengusir warga Palestina dari wilayah itu. Netanyahu juga mengklaim, kemenangan Israel atas Hamas sudah di depan mata.

Langkah Netanyahu itu dikecam dan ditentang komunitas internasional semisal PBB dan negara-negara Arab antara lain Arab Saudi dan Mesir. Bahkan Amerika Serikat yang merupakan sekutu dekat Israel pun mengecam langkah Netanyahu menyerang Rafah.

Negara-negara tersebut menyoroti ancaman pembantaian warga sipil yang terus berlanjut di Jalur Gaza. Sebab, Kota Rafah kini menjadi satu-satunya tempat mengungsi bagi jutaan warga Gaza sebagai imbas agresi brutal militer Israel sejak 7 Oktober 2023. Saat ini, Israel dilaporkan sudah melancarkan serangan udara ke Rafah yang berakibat tewasnya lebih dari 100 orang dalam sehari.

Sementara itu, Juru Bicara Sekretaris Jenderal PBB, Stephane Dujarric, mengatakan, PBB “tidak akan ikut serta” dalam setiap tindakan untuk melakukan evakuasi paksa terhadap warga Palestina yang saat ini tinggal di Rafah. Dia memang menekankan bahwa saat ini tidak ada tempat yang aman di Gaza untuk warga Palestina. Tetapi, menanggapi pertanyaan tentang kemungkinan partisipasi PBB dalam operasi evakuasi, Dujarric seperti dikutip sindonews.com, menekankan, “Perlunya memastikan apa pun yang terjadi dilakukan dengan menghormati hukum internasional, dengan menghormati sepenuhnya perlindungan warga sipil.”

Dujarric menegaskan, pihaknya tidak akan melakukan pemindahan paksa. Sebab, saat ini tidak ada tempat yang aman di Gaza. “Anda tidak dapat mengirim orang kembali ke daerah yang penuh dengan persenjataan yang belum meledak. Apalagi kurangnya tempat berlindung,” kata dia.

Dujarric juga mengecam kelangkaan bantuan kemanusiaan yang masuk ke Jalur Gaza. Pekan lalu, Dujarric menekankan perlunya melindungi ratusan ribu warga Palestina yang mengungsi di Rafah. Apalagi, pasokan yang tersedia mungkin hanya bertahan beberapa hari.

“PBB tidak akan mendukung pemindahan paksa dengan cara apa pun, yang bertentangan dengan hukum internasional,” ucapnya seperti dikutip sindonews.com.

Kota Rafah sendiri sejak agresi Israel berlangsung pada 7 Oktober 2023, telah menjadi satu-satunya wilayah yang menjadi akses penyaluran bantuan kemanusiaan menuju Gaza. Kota Rafah berada di wilayah Kegubernuran Rafah, wilayah paling selatan Jalur Gaza, dan berbatasan langsung dengan Mesir. Dikutip CNNindonesia.com, perbatasan Rafah merupakan satu-satunya titik penyeberangan dari Gaza menuju Mesir dan perbatasan Rafah juga digunakan untuk mengevakuasi warga sipil keluar Gaza.

Sumber : Sabili.id

Bagikan

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Jadi #TemanBerbagiKebaikan

Bantu Ratusan Anak Indonesia Mendapatkan Pendidikan Layak

Campaign Terkini